Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Januari 2012

Asal Usul Sejarah Burung Cendrawasih


Asal Usul Burung Cenderawasih –Sejarah Cenderawasih. Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes, dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat topi wanita di Eropa. Perburuan untuk mendapat bulu dan perusakan habitat menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis ke tingkat terancm; perusakan habitat karena penebangan hutan sekarang merupakan ancaman utama.
Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat. Dalam hal Cendrawasih Panji, disarankan mengambil dari rumah sarang burung Namdur. Tatkala Raja Mahendra dari Nepal naik tahta pada tahun 1955, ternyata bulu burung cendrawasih pada mahkota kerajaan Nepal perlu diganti. Karena larangan perburuan, penggantian akhirnya diperbolehkan dari kiriman yang disita oleh hukum Amerika Serikat.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise (‘burung surga’ oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda – yang berarti ‘tak berkaki’.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.

Asal Usul Sejarah Burung Cenderawasih

Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalamnya. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *
Itulah cerita Asal Usul Burung Cenderawasih dari Fak-Fak, Papua Barat, dimana cerita asal usul burung cenderawasih ini saya kutip dari Cerita Rakyat Nusantara yang diceritakan kembali oleh Samsuni.
Dari Cerita diatas, dapat kita ambil satu pesan moral yaitu bahwa sifat suka saling iri hati terhadap saudara sendiri seperti kedua adik laki-laki Kweiya akan mengakibatkan malapetaka.

Reff: id.wikipedia.org – ceritarakyatnusantara.com


Rabu, 23 November 2011

Sejarah Kong Hu Cu

Sejarah Kong Hu Cu October 18th, 2011 by admin | Posted under Unik. 0 inShare Sejarah Kong Hu Cu 212x300 Sejarah Kong Hu CuLahir sekitar tahun 551 SM di kota kecil Lu, kini masuk wilayah propinsi Shantung di timur laut daratan Cina. Dalam usia muda ditinggal mati ayah, membuatnya hidup sengsara di samping ibunya. Waktu berangkat dewasa dia jadi pegawai negeri kelas teri tapi sesudah selang beberapa tahun dia memutuskan mendingan copot diri saja. Sepanjang enam belas tahun berikutnya Kong Hu-Cu jadi guru, sedikit demi sedikit mencari pengaruh dan pengikut anutan filosofinya. 

Menginjak umur lima puluh tahun bintangnya mulai bersinar karena dia dapat kedudukan tinggi di pemerintahan kota Lu. Sang nasib baik rupanya tidak selamanya ramah karena orang-orang yang dengki dengan ulah ini dan ulah itu menyeretnya ke pengadilan sehingga bukan saja berhasil mencopotnya dari kursi jabatan tapi juga membuatnya meninggalkan kota. Tak kurang dari tiga belas tahun lamanya Kong Hu-Cu berkelana ke mana kaki melangkah, jadi guru keliling, baru pulang kerumah asal lima tahun sebelum wafatnya tahun 479 SM. 

Kong Hu-Cu kerap dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja meleset. Dia jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan keTuhanan, menolak perbincangan alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan yang berhubungan dengan soal-soal metaflsika. Dia -tak lebih dan tak kurang- seorang filosof sekuler, cuma berurusan dengan masalah-masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku akhlak. Ada dua nilai yang teramat penting, kata Kong Hu-Cu, yaitu “Yen” dan “Li:” “Yen” sering diterjemahkan dengan kata “Cinta,” tapi sebetulnya lebih kena diartikan “Keramah-tamahan dalam hubungan dengan seseorang.” “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan sopan santun. 

Pemujaan terhadap leluhur, dasar bin dasarnya kepercayaan orang Cina bahkan sebelum lahirnya Kong Hu-Cu, lebih diteguhkan lagi dengan titik berat kesetiaan kepada sanak keluarga dan penghormatan terhadap orang tua. Ajaran Kong Hu-Cu juga menggaris bawahi arti penting kemestian seorang istri menaruh hormat dan taat kepada suami serta kemestian serupa dari seorang warga kepada pemerintahannya. Ini agak berbeda dengan cerita-cerita rakyat Cina yang senantiasa menentang tiap bentuk tirani. Kong Hu-Cu yakin, adanya negara itu tak lain untuk melayani kepentingan rakyat, bukan terputar balik. 

Tak jemu-jemunya Kong Hu-Cu menekankan bahwa penguasa mesti memerintah pertama-tama berlandaskan beri contoh teladan yang moralis dan bukannya lewat main keras dan kemplang. Dan salah satu hukum ajarannya sedikit mirip dengan “Golden Rule” nya Nasrani yang berbunyi “Apa yang kamu tidak suka orang lain berbuat terhadap dirimu, jangan lakukan.” Pokok pandangan utama Kong Hu-Cu dasarnya teramat konservatif. Menurut hematnya, jaman keemasan sudah lampau, dan dia menghimbau baik penguasa maupun rakyat supaya kembali asal, berpegang pada ukuran moral yang genah, tidak ngelantur. Kenyataan yang ada bukanlah perkara yang mudah dihadapi. Keinginan Kong Hu-Cu agar cara memerintah bukan main bentak, melainkan lewat tunjukkan suri teladan yang baik tidak begitu lancar pada awal-awal jamannya. Karena itu, Kong Hu-Cu lebih mendekati seorang pembaharu, seorang inovator ketimbang apa yang sesungguhnya jadi idamannya. 

Kong Hu-Cu hidup di jaman dinasti Chou, masa menyuburnya kehidupan intelektual di Cina, sedangkan penguasa saat itu tidak menggubris sama sekali petuah-petuahnya. Baru sesudah dia wafatlah ajaran-ajarannya menyebar luas ke seluruh pojok Cina. Berbetulan dengan munculnya dinasti Ch’in tahun 221 SM, mengalami masa yang amat suram. Kaisar Shih Huang Ti, kaisar pertama dinasti Ch’ing bertekat bulat membabat habis penganut Kong Hu-Cu dan memenggal mata rantai yang menghubungi masa lampau. Dikeluarkannya perintah harian menggencet lumat ajaran-ajaran Kong Hu-Cu dan menggerakkan baik spion maupun tukang pukul dan pengacau profesional untuk melakukan penggeledahan besar-besaran, merampas semua buku yang memuat ajaran Kong Hu-Cu dan dicemplungkan ke dalam api unggun sampai hancur jadi abu. Kebejatan berencana ini rupanya tidak juga mempan. 

Tatkala dinasti Ch’ing mendekati saat ambruknya, penganut-penganut Kong Hu-Cu bangkit kembali bara semangatnya dan mengobarkan lagi doktrin Kong Hu-Cu. Di masa dinasti berikutnya (dinasti Han tahun 206 SM – 220 M). Confucianisme menjadi filsafat resmi negara Cina. Mulai dari masa dinasti Han, kaisar-kaisar Cina setingkat demi setingkat mengembangkan sistem seleksi bagi mereka yang ingin jadi pegawai negeri dengan jalan menempuh ujian agar yang jadi pegawai negeri jangan orang serampangan melainkan punya standar kualitas baik ketrampilan maupun moralnya. Lama-lama seleksi makin terarah dan berbobot: mencantumkan mata ujian filosofi dasar Kong Hu-Cu. 

Berhubung jadi pegawal negeri itu merupakan jenjang tangga menuju kesejahteraan material dan keterangkatan status sosial, harap dimaklumi apabila di antara para peminat terjadi pertarungan sengit berebut tempat. Akibat berikutnya, ber generasi-generasi pentolan-pentolan intelektual Cina dalam jumlah besar-besaran menekuni sampai mata berkunang-kunang khazanah tulisan-tulisan klasik Khong Hu-Cu. Dan, selama berabad-abad seluruh pegawai negeri Cina terdiri dari orang-orang pandangannya berpijak pada filosofi Kong Hu-Cu. 

Sistem ini (dengan hanya sedikit selingan) berlangsung hampir selama dua ribu tahun, mulai tahun 100 SM sampai 1900 M. Tapi, Confucianisme bukanlah semata filsafat resmi pemerintahan Cina, tapi juga diterima dan dihayati oleh sebagian terbesar orang Cina, berpengaruh sampai ke dasar-dasar kalbu mereka, menjadi pandu arah berfikir selama jangka waktu lebih dari dua ribu tahun. Ada beberapa sebab mengapa Confucianisme punya pengaruh yang begitu dahsyat pada orang Cina. Pertama, kejujuran dan kepolosan Kong Hu-Cu tak perlu diragukan lagi. Kedua, dia seorang yang moderat dan praktis serta tak minta keliwat banyak hal-hal yang memang tak sanggup dilaksanakan orang. 

Jika Kong Hu-Cu kepingin seseorang jadi terhormat, orang itu tidak usah bersusah payah menjadi orang suci terlebih dahulu. Dalam hal ini, seperti dalam hal ajaran-ajarannya yang lain, dia mencerminkan dan sekaligus menterjemahkan watak praktis orang Cina. Segi inilah kemungkinan yang menjadi faktor terpokok kesuksesan ajaran-ajaran Kong Hu-Cu. Kong Hu-Cu tidaklah meminta keliwat banyak. Misalnya dia tidak minta orang Cina menukar dasar-dasar kepercayaan lamanya. Malah kebalikannya, Kong Hu-Cu ikut menunjang dengan bahasa yang jelas bersih agar mereka tidak perlu beringsut. Tampaknya, tidak ada seorang filosof mana pun di dunia yang begitu dekat bersentuhan dalam hal pandangan-pandangan yang mendasar dengan penduduk seperti halnya Kong Hu-Cu. 

Confucianisme yang menekankan rangkaian kewajiban-kewajiban yang ditujukan kepada pribadi-pribadi ketimbang menonjolkan hak-haknya -rasanya sukar dicerna dan kurang menarik bagi ukuran dunia Barat. Sebagai filosofi kenegaraan tampak luar biasa efektif. Diukur dari sudut kemampuan memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam jangka waktu tak kurang dari dua ribu tahun, jelaslah dapat disejajarkan dengan bentuk-bentuk pemerintahan terbaik di dunia. Gagasan filosofi Kong Hu-Cu yang berakar dari kultur Cina, tidaklah berpengaruh banyak di luar wilayah Asia Timur. Di Korea dan Jepang memang kentara pengaruhnya dan ini disebabkan kedua negeri itu memang sangat dipengaruhi oleh kultur Cina. 

Saat ini Confucianisme berada dalam keadaan guram di Cina. Masalahnya, pemerintah Komunis berusaha sekuat tenaga agar kaitan alam pikiran penduduk dengan masa lampau terputus samasekali. Dengan gigih dan sistematik Confucianisme digempur habis sehingga besar kemungkinan suatu saat yang tidak begitu jauh Confucianisme lenyap dari bumi Cina. Tapi karena di masa lampau, akar tunggang Confilcianisme begitu dalam menghunjam di bumi Cina, bukan mustahil -entah seratus atau seratus lima puluh lahun yang akan datang – beberapa filosof Cina sanggup mengawinkan dua gagasan besar: Confucianisme dan ajaran ajaran Mao Tse-Tung.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international voip calls